Marina Khovivah Bangun Usaha Berkonsep Italy Style

TENGGARONG – Pemilik Foma Marina Khovivah membangun dan menjalankan usaha di bidang fashion menggunakan konsep Italy Style.

Sebelum mendirikan usaha tersebut, dia pernah menempuh pendidikan di Alvera Fashion Surabaya, sebuah lembaga yang menerapkan 80 persen praktik secara langsung dalam metode pembelajarannya.

Di Alvera Fashion Surabaya inilah ia banyak belajar tentang ilmu fashion dari berbagai negara, salah satunya Italia.

Selama 3 tahun menempuh pendidikan secara disiplin di lembaga tersebut, Marina mempelajari banyak hal di sekolah khusus mode tersebut.

Dia mencontohkan cara membentuk pola fashion yang belum pernah dibayangkannya.

“Setiap daerah itu punya ciri khas fashion-nya. Akhirnya coba keluarin arah baru di fashion, yaitu Italy Style,” terangnya pada Rabu (14/2/2024).

Seiring waktu berjalan, selain membuat scrunshies, ia juga menjahit baju dan memayet.

Marina kerap mendapatkan 4-5 order setiap bulan. Baju yang dijahitnya dibanderol dengan harga Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Harga baju bergantung tingkat kesulitan pembuatannya.

Dia berharap bisa terus konsisten menghasilkan produk dari hasil karya tangannya sendiri.

Hal itu menjadi penyemangatnya untuk terus mempelajari tren fashion yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

“Insyaallah (saya) akan buka clothing brand untuk terus menumbuhkan hal baru di Foma,” tutupnya. (adv/lt/mt/fb)

Marina Khovivah Bangun Bisnis Self Manufacturing Menggunakan Konsep Unik

TENGGARONG – Marina Khovivah berhasil membangun bisnis self manufacturing dengan mengusung konsep unik dan menarik.

Bisnis itu diberinya nama Foma, karya tangannya dari kain perca yang dibuatnya menjadi scrunchies atau ikat rambut yang bisa menjadi gelang tangan.

Dia memulai bisnis Foma pada saat menjalani masa studinya pada tahun 2020. Kala itu, dia menjual masker kain.

Sebelum mendirikan Foma, ia mencoba mempelajari ketertarikan masyarakat Tenggarong di bidang fashion.

Setelah membuat masker kain, Marina melihat banyak sisa kain bekas jahitan masker.

Hal itu memberikannya ide dalam melakukan inovasi untuk memanfaatkan kain perca menjadi barang yang bernilai jual.

“Melihat arah fashion luar negeri, ada scrunchies, ini ikat rambut sekaligus bisa jadi gelang tangan. Lihat di Tenggarong belum ada. Coba bikin dan laku banyak. Alhamdulillah,” ungkapnya, Rabu (14/2/2024).

Scrunchies berukuran kecil dijual Rp 2.500, ukuran sedang Rp 6 ribu, dan bando Rp 15 ribu. Dengan harga tersebut, setiap konsumen mampu memesan kain perca 20 pcs.

Dia kerap menerima order scrunchies untuk dijadikan souvernir hingga 300 pcs.
Meski banjir order, ia masih bisa memenuhi permintaan tersebut walaupun dikerjakan secara mandiri.

Marina sangat mementingkan kualitas atas hasil karyanya.

“Karena self manufactured. Jadi, semua ini asli hasil karya sendiri, bahkan sampai foto katalog juga dikelola secara pribadi,” ujarnya.

Dia berpesan kepada generasi muda yang ingin mendirikan usaha agar tak kehabisan ide.

Ia mencontohkan dirinya yang bisa memanfaatkan sisa kain yang sebagian orang menganggapnya sebagai sampah yang tak berguna.

Padahal, sampah yang tidak berguna itu bisa bernilai ekonomis apabila dikelola secara maksimal.

Marina juga berpesan kepada generasi muda Kabupaten Kutai Kartanegara agar tak malu untuk memulai usaha. “Buktikan kalau kita juga bisa menghasilkan brand sendiri,” tutupnya. (adv/lt/mt/fb)

Tenggarong Foodies Jadi bagi Wadah Para Pelaku UMKM Promosikan Usaha

TENGGARONG – Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bisa mempromosikan usaha kuliner mereka melalui media sosial Instagram (IG) Tenggarong Foodies.

Saat ini, promosi melalui media sosial IG merupakan salah satu cara yang mudah bagi para pelaku usaha untuk menjangkau konsumen.

Pemilik akun IG Tenggarong Foodies, Adi menjelaskan, para pelaku UMKM sudah bisa mempromosikan usaha kuliner mereka kepada 18,3 ribu pengikutnya dengan biaya sekitar Rp 150 ribu.

Dia mengungkapkan, akun IG Tenggarong Foodies sengaja dibuat untuk para pelaku UMKM, khususnya di Kota Raja, mempromosikan usaha mereka.
Pembuatan akun tersebut bersamaan dengan saat ia merilis usaha Kawa Kopi miliknya.

Kala mendirikan Kawa Kopi, Adi mengaku belum memiliki wadah untuk mempromosikan usaha kopinya.

Dia pun mencetuskan ide untuk mempromosikan usaha kopinya melalui media sosial IG. Ia membuat akun Tenggarong Foodies pada tahun 2019.

Adi mengusung konsep konsumen bukan sebagai penilai rasa karena setiap orang memiliki perbedaan dalam menentukan rasa.

Sejalan dengan kegemarannya pada bidang kuliner, setiap mendatangi tempat usaha pelaku UMKM, dia selalu meminta izin untuk mempromosikan jualan pelaku usaha di akun IG Tenggarong Foodies.

Tren pemasaran melalui sosial media itu pun dikemasnya secara lengkap dan apik.

“Saat ini bisa menghasilkan (iklan berbayar),” bebernya kepada media ini, Rabu (14/2/2024).

Ia menyebut proses pembangunan media sosial sebagai wadah promosi tak semudah membalikkan telapak tangan.

Namun, kata Adi, konsistensi untuk membangun UMKM dan rekomendasi para wisatawan berburu kuliner di Tenggarong membuatnya mampu memberikan kepercayaan kepada ribuan pengikut IG miliknya.

Kegemarannya pada kuliner membuat dia bisa membantu mengiklankan banyak produk makanan dan minuman para pelaku UMKM di Kota Tenggarong.
Ia berpesan kepada generasi muda yang ingin memulai usaha agar menjalankan usaha berdasarkan bidang yang disukainya.

Apabila seseorang menjalankan usaha sesuai minatnya, sambung Adi, maka hal itu akan mudah dikembangkan.

“Yang penting mulai dari apa yang kita sukai, komitmen, dan terus belajar meski harus melewati proses yang panjang,” tutupnya. (adv/lt/mt/fb)

Filosofi Kawa Kopi, Kafe yang Menyediakan Kopi Bercita Rasa Lidah Warga Tenggarong

TENGGARONG – Kawa Kopi memiliki filosofi tersendiri dalam menyuguhkan kopi untuk masyarakat Kutai Kartanegara yang gemar meminum kopi.

Pemilik Kawa Kopi, Adi menjelaskan, filosofi usaha yang dibangunnya mengusung konsep bisnis yang mendalam.

Kawa Kopi, kata dia, berasal dari bahasa Jepang yang berarti sungai.
Ia menyebut filosofi ini sejalan dengan lokasi Kawa Kopi yang berlokasi di dekat Sungai Mahakam.

Adi menerangkan bahwa Kawa Kopi memiliki logo yang berfilosofi shape of diamond, yang berarti sesuatu yang mempunyai nilai baik.

Logo Kawa Kopi juga bermakna shape of unity, sesuatu yang menyatu dan tidak berpihak, serta siluet of coffee beans, yang berarti produk utamanya berupa kopi.

Enam bulan pertama saat menjalankan Kawa Kopi, dia mengaku pembeli kopi di kafe tersebut tergolong minim. Dalam sehari hanya terjual 2-3 gelas.

Meski begitu, ia tak patang arang. Adi giat mempelajari pemasaran dan selera warga Tenggarong.

Dia pun menyuguhkan kopi robusta tamanggu dengan rasa manis. Usaha ini membuahkan hasil. Kopi yang disuguhkannya disukai oleh kalangan tua dan muda di Kota Raja.

“Seiring berjalannya waktu, mulai nih rame, bahkan pernah ya kita didatangi polisi, ‘Kenapa ni rame-rame.’ Ternyata lagi beli kopi,” ungkapnya, Rabu (14/2/2024).

Ia menginginkan produk yang dijualnya melekat dalam ingatan para konsumen dan pelanggaran setianya.

Meskipun hanya menjalankan satu toko, Adi menginginkan para wisatawan yang berkunjung ke Tenggarong menyimpan ingatan kuat terhadap produk yang dijual Kawa Kopi.

Dia menyadari bahwa setiap bisnis akan mengalami pasang surut.
Ia pun giat menjajakan kopi yang dijualnya lewat media sosial.

Di media sosial, Adi menampilkan penilaian jujur dari para konsumen.
Hal ini terbukti menambah daya tarik konsumen terhadap kopi yang dijual Kawa Kopi.

Dia menegaskan bahwa setiap usaha yang dijalankan seseorang harus diketahui pangsa pasarnya.

Setelah menentukan pangsa pasar, ia menyarankan pelaku usaha untuk menekuni usahanya.

“Yang penting mau belajar, jaga kualitas rasa, branding sosial media, komitmen secara terus-menerus,” tutupnya. (adv/lt/mt/fb)